Catatan Perbaikan Indeks Demokrasi Indonesia
oleh:Yulianta Saputra, S.H., M.H., C.M.,
Dosen Prodi Ilmu Hukum FSH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia telah mengalami serbaneka kemajuan signifikan dalam ihwal pemerintahan, kebebasan sipil, dan partisipasi politik sejak era Reformasi tahun 1998. Kendati demikian, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan dekadensi nan mengkhawatirkan pada indeks demokrasi Tanah Air.
Sebagaimana dimafhumi, kualitas demokrasi Ibu Pertiwi konstan mengalami kemerosotan. Laporan teranyar dariEconomist Intelligence Unit(EIU) menandaskan tren degradasi mutu demokrasi kian berlanjut. Skor indeks demokrasi Indonesia tercatat cuma di angka 6,44 dari skala tertinggi 10. Sebuah penurunan signifikan dari nilai tahun lalu yang mencapai bilangan 6,53. Imbasnya, posisi Indonesia dalam pemeringkatan global pun anjlok ke sekuens 59 dari sebelumnya yang berada di posisi 56 pada tahun 2023.
Tak ayal dan tak pelak, negeri ini masih bisa dikatakan berada dalam kategori demokrasi cacat. Ironisnya, posisi Indonesia di kategoriflawed democracyini telah bertahan setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Selama itu pula, skor indeks demokrasi Indonesia menurun. Pada 2021, Indonesia berada di peringkat ke-52. Di tahun-tahun berikutnya turun ke posisi 54 (2022) dan posisi 56 (2023). Dalam laporan itu, dari lima dimensi yang diukur, skor terendah ada pada ranah kultur politik dan kebebasan sipil.
EIU menyoroti tren politik dinasti semakin menguat di Indonesia sebagai salah satu determinan utama yang berkontribusi pada regresi demokrasi. EIU menyingkap bahwa fenomena ini kian mendestruksi prinsip demokrasi perwakilan, melemahkan pertanggungjawaban institusional, serta memperburuk ketegangan sosial. EIU juga mengamati bahwa kemenangan Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 yang disokong pendahulunya, Joko Widodo, telah mengintensifkan ketakutan akan sentralisasi kekuasaan serta minusnya supervisi dan keberimbangan. Selain itu, EIU menyebut putusan Mahkamah Konstitusi yang memberi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi wakil presiden telah mendestruksi independensi peradilan.
Penurunan skor dan peringkat Indonesia dalam Indeks Demokrasi 2024 yang dirilis EIU tersebut niscaya merupakan realitas pahit. Situasi tersebut menjadi pekerjaan yang semestinya diprioritaskan pemerintahan Prabowo Subianto. Sebab, jika tren itu terus berlanjut, ada risiko semakin melemahnya demokrasi dan meningkatnya otoritarianisme. Bahkan, jika langkah-langkah evaluatif tak segera dilakukan, niscaya negeri ini sangat mungkin kehilangan esensi dari demokrasi itu sendiri. Oleh karenanya, sangat penting untuk mendongkrak indeksa quodemi mencapai demokrasi yang lebih matang. Lantas pertanyaannya, ikhtiar apa saja yang mesti ditempuh agar indeks demokrasi Indonesia meningkat?
Pertama, memperkuat institusi demokrasi. Salah satu aspek utama dalam demokrasi yang kuat ialah eksistensi dan kinerja institusi yang mendukungnya, seperti lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial. Di Indonesia, meski telah ada sejumlah perbaikan, penguatan institusi tersebut masih sangat dibutuhkan. Salah satu problem signifikan yang menghambat kualitas demokrasi adalah minusnya independensi lembaga-lembaga negara baik itu Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, politisasi institusi-institusi ini juga acapkali mereduksi kredibilitasnya.
Maka dari itu, memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia harus dimulai dari menjaga agar pranata-pranata tersebut bebas dari hegemoni politik praktis dan dapat bekerja profesional. Dalam konteks ini, sistem checks and balances yang efektif dan berfungsi optimal adalah kunci. Keberhasilan dalam memperkuat institusi akan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan dan meningkatkan kualitas partisipasi politik.
Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi. Demokrasi tak melulu soal pemilu, melainkan juga terkait sejauh mana rakyat terlibat dalam pengambilan keputusan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka. Partisipasi politik yang aktif dari khalayak harus distimulus agar tidak hanya terbatas pada saat pemilu, termasuk pula saat proses legislasi dan kontrol pemerintahan.
Sayangnya, meskipun Indonesia memiliki sistem pemilu yang cukup terbuka, partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik lainnya masih rendah. Keterlibatan masyarakat dalam forum-forum politik lokal, diskusi publik, atau konsultasi kebijakan perlu lebih diintensifkan. Salah satu cara untuk mendorong ini adalah via pendidikan politik yang lebih efektif dan masif di seantero lapisan masyarakat.Political educationini tak hanya tentang bagaimana memilih pemimpin yang baik, tetapi juga bagaimana memafhumi dan mengkritisi kebijakan publik, serta berpartisipasi aktif dalam perbaikanbeleidtersebut.
Ketiga, menanggulangi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi merupakan salah satu problematika terbesar yang merusak fondasi demokrasi di Bumi Pertiwi. Tatkala para pejabat publik terlibat dalam rasuah, maka mereka tidak bekerja untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Ini tentu saja menciptakan ketidakadilan, ketidaksetaraan, dan mereduksi kredibilitas masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri.
Eradikasi korupsi yang lebih asertif dan sistematis mutlak dilakukan dengan melibatkan seantero elemen bangsa, khususnya lembaga penegak hukum. Selain itu, reformasi birokrasi dengan mengaplikasikan prinsip transparansi dalam pengelolaan anggaran negara dan penggunaan teknologi untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintahan diyakini kapabel memperkecil ruang bagi praktik korupsi danabuse of power.
Keempat, menghormati kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Demokrasi yang sehat harus menyediakan ruang bagi kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Indonesia, meskipun memiliki sejumlah jaminan dalam konstitusi untuk kebebasan berekspresi, masih menghadapi problem dalam implementasinya. Tindakan pembungkaman terhadap jurnalis, aktivis, atau bahkan masyarakat sipil yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah masih kerap terjadi.
Padahal, kebebasan pers adalah pilar utama dalam meniscayakan bahwa masyarakat memiliki akses ke informasi yang akurat dan tidak terdistorsi. Atas kausa tersebut, negara perlu memproteksi kebebasan pers dan menstimulasi pelibatan lebih banyak media dalam turut serta menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Di sisi lain, masyarakat juga perlu distimulasi untuk lebih aktif dalam menggunakan hak suara dan menyuarakan pendapat mereka dalam ruang publik yang sehat.
Kelima, membangun kesadaran multikultural dan toleransi. Indonesia dikenal dengan pusparagam suku, agama, dan budaya. Meskipun kebhinekaan ini menjadi kekuatan, namun juga bisa menjadi sumber konflik jikalau tak dikelola dengan baik. Demokrasi Indonesia harus kapabel mengakomodasi seluruh elemen masyarakat nir-diskriminasi. Pembangunan kultur toleransi dan inklusivitas menjadi kunci dalam menciptakan iklim demokrasi nan harmonis.
Di sini pendidikan multikultural, penguatan nilai-nilai Pancasila, serta penerapan kebijakan yang mendukung pluralitas dapat memperkuat ikatan sosial antarwarga negara dan notabene mereduksi narasi kebencian di ruang publik. Perihal tersebut niscaya memiliki urgensi untuk relevansinya menjaga kestabilan sosial dalam kerangka mengejawantahkan demokrasi yang adil dan merata.
Keenam, menggunakan teknologi untuk demokrasi yang lebih inklusif. Kemajuan teknologi memberikan kans besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kualitas demokrasinya. Penggunaan teknologi informasi dapat mempermudah partisipasi politik dan meniscayakan proses pemilu lebih transparan dan efisien.E-voting, sistem pengawasan berbasis teknologi, dan transparansi anggaran pemerintah via platform digital dapat membantu menciptakan demokrasi yang lebih inklusif.
Namun, teknologi juga harus digunakan untuk mendukung demokrasi yang sehat, bukan untuk menyebarkan hoaks atau menambah polarisasi. Oleh sebab itu, urgen bagi pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk berkolaborasi memastikan bahwa teknologi digunakan untuk tujuan positif dalam memperkuat demokrasi.
Pada akhirnya, merosotnya Indeks Demokrasi Indonesia adalah sebuah peringatan bagi kita semua. Meskipun kita telah mengecap demokrasi selama beberapa dasawarsa, tetapi masih banyak aspek yang harus diperbaiki agar demokrasi Indonesia berjalan tumbuh dengan spiritnya. Ikhtiar untuk memperbaiki kualitas demokrasi ini tentu tak gampang dan memerlukan komitmen bersama dari seantero elemen bangsa baik itu pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, hingga sektor swasta.Hakulyakin, dengan menempuh beberapa mekanisme tersebut, kita bisa mengejawantahkan demokrasi agar lebih berkualitas dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. (artikel ini sebelumnya sudah dimuat di rubrik "kolom" web hukumonline.com edisi Kamis 20 Maret 2025).