Delapan Dekade Kemerdekaan
oleh: Yulianta Saputra, S.H., M.H., C.M.
Bulan Agustus ialah bulan nan bersejarah untuk bangsa Indonesia. Di bulan ini berdasarkan realitas pada masa silam, Ibu Pertiwi berhasil keluar dari belenggu penjajahan yang terjadi selama ratusan tahun.
Saban medio bulan tersebut, galibnya di seantero wilayah yang menjadi fragmen dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mengadakan peringatan kemerdekaan. Peringatan kemerdekaan dimaksudkan sebagai manifestasi ekspresi kebahagiaan, kegembiraan, dan sukacita atas tegaknya kedaulatan bangsa Indonesia.
Sebuah konstelasi nan tentu saja ultimanya memberi ruang kepada kita untuk bisa lepas dari kepandiran, kefakiran, ketidakadilan, dan berbagai penderitaan lainnya.
Kemerdekaan yang diraih adalah resultan dari hasil perjuangan panjang selama kurang lebih tiga setengah abad. Untuk itu, peringatan ini niscaya merupakan momen signifikan bagi seluruh rakyat Indonesia dan dari musabab tersebut semestinya berlangsung sarat antusias serta rasa bangga di seantero penjuru negeri.
Secara garis besar, tema peringatan Hari Ulang Tahun HUT Republik Indonesia ke 80 pada 2025 ialah “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”.
Tema ini mengandung harapan Indonesia yang usianya telah menginjak 80 tahun menjadi negara yang kuat dan berdaulat, rakyatnya makmur jua sejahtera, serta kapabel menjadi negara maju.
Sebagaimana lumrah di warsa-warsa sebelumnya, pada momentum ini galibnya diisi dengan berbagai acara dan jua kegiatan. Lazimnya segenap insan di negeri ini amat begitu semarak dalam rangka merayakan momen spesial Bumi Pertiwi tersebut.
Merdeka, seperti menurut para founding fathers and mothers, dimaksudkan sebagai sebuah kebebasan atas penindasan dan perbudakan dari kolonialisme.
Secara terminologi,makna kemerdekaan bahkan memiliki cakrawala yang lebih luas, di antaranya kemenangan atas segala perjuangan, cita-cita meraih kebebasan, dan terlepas dari langgam keterkungkungan.
Walakin, realitas sosial dewasa ini seperti tergelincir atau malah sengaja digelincirkan. Era kiwari, meski pejajahan fisik telah lenyap, setidaknya menyembul penjajahan dengan model baru.
Entah itu oleh bangsa lain atau bahkan dari komunitas bangsa sendiri. Ambil contoh, kebijakan sistem yang pro-asing. Sistem global seakan kian kental mengikat.
Kita seolah-olah terkecoh pada kekuatan luar. Perihal ini kian diperparah dengan adanya “gurita-gurita” lokal yang membuat kita semakin bertambah masygul.
Bagaimana tidak, praktik korupsi semakin ‘telanjang’ di mata banyak orang. Menyeret mental bahkan sangat mungkin sudah mendarah daging. Belum lagi, kelanggengan serbaneka patologi sosial.
Gejolak tersebut malah seakan tak mendapatkan tempat penyelesaiannya. Hingga hari ini, kita masih serasa terjajah oleh sesama saudara sendiri.
Maka, lihatlah,semakin hari negeri ini mulai kehilangan politisi yang sayang rakyatnya, elite yang tulus mendampingi masyarakatnya, agamawan yang bijak kepada umatnya, intelektual yang loyal terhadap publiknya, dan pemodal yang memberikan cinta kepada pasar.
Negeri ini laksana kehilangan spirit dari para pahlawan yang setia mengorbankan harta, benda, dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa.
Perihal tersebut hanya serpihan fakta realitas dari pelbagai kompleksitas problematika yang mendera bangsa ini. Masih terlampau banyak problem bangsa yang perlu diurai benang kusutnya dan patut dicarikan formula penyembuhannya.
Oleh karena itulah, dibutuhkan tekad nan solid serta komitmen pencerahan untuk secara bersama-sama merawat harmoni kehidupan yang plural dan secara kolektif membangun Indonesia yang benar-benar “merdeka” dari hal-ihwal yang tidak benar dan tak baik.
Di sini tidaklah signifikan lagi mempersalahkan pihak-pihak tertentu terkait dengan problematik berlapis yang hingga kini menjadi “pekerjaan rumah” semua elemen, aksentuasinya para elite pemimpin.
Spirit dan elan dari kemerdekaan harus diejawantahkan sebagai momen introspeksi guna membangun konstelasi bangsa menuju ke arah yang lebih baik, sehingga bangsa Indoensia ke depan benar-benar menjadi negara yang besar jua disegani.
Distingsi
Beberapa perihal cara memaknai hari kemerdekaan ini oleh saban individu tentu bisa ada distingsi antara satu dengan lainnya. Ada yang memasang Sang Saka Merah Putih di halaman rumah.
Ada yang dengan hikmat mengikuti upacara bendera di tanah lapang, kemudian ada jua yang mengamalkannya dengan memanjatkan doa bersama serta ada pula yang dengan mengikuti “pusparagam” perlombaan.
Kini tatkala delapan dekade tanah air merdeka, ternyata jamak “pusparagam” kehidupan yang melingkup di dalamnya. Di satu sisi ada bentangan “panorama” anak-anak bangsa berhasil merengkuh prestasi via profesi nan ditekuni.
Walakin di sisi lain, tak sedikit pula sekeliling kehidupan kita masih ramai dikitari berbagai penyakit masyarakat, seperti maraknya judi, korupsi, prostitusi, penyalahgunaan narkoba dan serba-serbi deviasi publik lainnya.
Seabrek problematika tersebut niscaya membutuhkan keinsafan kita sebagai penerus bangsa untuk turut memberikan sumbangsih cum berkontribusi membenahinya dengan mekanisme serta kadar kapabilitas masing-masing.
Pasca-delapan dekade Indonesia merdeka tentunya masih diperlukan tekad bulat jua integrasi tindakan semua elemen bangsa dari Sabang sampai Merauke demi tujuan kita bersama, yakni menjadikan negara ini jaya pula disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Atas kausa itulah, sudah masanya kita sebagai bangsa keluar dari keterpurukan dengan berjuang keras bersama-sama mengisi kemerdekaan dengan hal-ihwal yang baik. Tentu saja via pembangunan nan positif entah itu secara fisik maupun moral. Senatiasa memberi apresiasi jua punya rasa toleransi kepada pihak yang berseberangan dengan kita guna terejawantahkannya cita negara (staatsidee).
Dus, mari mengoptimumkan peran kita seciamik mungkin. Semisal sebagai seorang ibu atawa ayah, maka berikanlah pendidikan terapik buat para anandanya.
Jikalau kita adalah guru, ajarlah murid-murid dengan kalbu nan tulus lagi ikhlas. Apabila kita merupakan mahasiswa, jadilah garda agen perubahan nan cakap menjadi “jembatan” antara khalayak dengan pemerintah.
Yang tak kalah urgennya pula, senantiasa mau merejuvenasi nasionalisme dalam diri kita sebagai warga negara. Apapun suku, agama, ras, dan golonganmu, lakukanlah peri terbaik untuk negeri ini, lantaran sesungguhnya perjuanganmu akan perenial dikenang meski kelak engkau telah tiada lagi di muka bumi ini.
Patut dicamkan bahwasanya segala carut marut dengan segala hiruk pikuknya konstelasi Ibu Pertiwi, kita tidak boleh berkecil hati, apalagi pesimistis.
Bagaimanapun sejatinya kita merupakan proporsi dari para penerus bangsa yang nantinya akan melanjutkan khitah perjuangan negara untuk masa-masa ke depannya.
Pada akhirnya, berkaitan peringatan delapan dekade kemerdekaan ini bisa menjadi muspra dan tak bermakna apa-apa tatkala semangat nasionalis tereduksi sekadar seremonial ritual tahunan belaka.
Sebaliknya, jikalau kita kapabel menjadikan perayaan ini sebagai momentum menyalakan (lagi) spirit kemerdekaan dalam kerangka memperkuat persatuan serta gotong royong, saya hakulyakin negeri ini dapat konstan melaju progresif jua menuju kesentosaan bagi seluruh rakyatnya.
Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia. Jayalah Negeri kita, Bangkitlah Bangsa kita. Semoga…