Menanti Respons Pemerintah di Tengah Gelombang PHK dan Pailit Perusahaan

Deshandra Yusuf Siswan Atmadja, S.H., M.H.

Belakangan ini fenomena kepailitan Perusahaan (atau sederhananya dapat dikatakan Perusahaan tutup beroperasi) banyak bermunculan.

Sepanjang januari-Desember 2024, terdapat total 92 perkara yang masuk di Pengadilan Niaga. Jika dibandingkan dengan sengketa pailit pada 2023, angka tersebut memang mengalami peningkatan, dimana perkara pailit pada 2024 tercatat sebanyak 80.

Berdasarkan data dari Satudata Kemnaker, jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK pada 2024 adalah 77.965 orang.

Di awal tahun 2025 ini, PT. Yamaha Music Indonesia yang memproduksi piano dan berorientasi ekspor, telah memangkas 1.100-an pekerjanya, kemudian disusul PT. Sanken Indonesia di Kawasan MM2100 Cikarang, Jawa Barat dikabarkan akan menghentikan produksinya secara total pada Juni 2025. Tak lupa yang sedang viral saat ini adalah Perusahaan tekstil Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah yang telah resmi berhenti beroperasi mulai Sabtu (1/3) setelah Perusahaan tersebut dinyatakan pailit, sehingga berakibat pada PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karyawan sebanyak 10.665 orang.

Ancaman Produk Impor

Para ahli berpendapat bahwa banyak Perusahaan tutup pada akhir-akhir ini salah satunya karena daya saing yang kalah dengan produk impor. Selama ini, keluhan yang dialami pihak industry dalam negeri lebih banyak akibat tidak lakunya produk mereka di pasaran lokal.

Konkretnya, mereka mengeluhkan produk lokal kalah saing dengan produk luar negeri. Artinya, produk impor ternyata masih banyak diminati konsumen Indonesia.

Kepala Pusat Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menjelaskan bahwa keluhan selama ini Sebagian besar produk dalam negeri tidak dibeli atau tidak laku di pasaran lokal.

Produk dalam negeri tidak laku di pasaran karena selama ini Masyarakat terlanjut terlena dengan produk impor. Sehingga banyak Perusahaan enggan memperpanjang sertifikatnya atau tidak mau mengusulkan yang baru.

Menurut CNBC Indonesia, 60% orang Indonesia memilih membeli produk asing ketimbang lokal. Alasannya, produk asing biasanya memberikan Inovasi baru untuk menarik pelanggannya; memiliki kualitas yang lebih baik; memiliki banyak model yang beragam; dan harganya yang relative terjangkau.

Regulasi Pemerintah

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 dibuat untuk mengatasi penumpukan container di Pelabuhan dan kendala perizinan impor. Beleid ini merupakan perubahan ketiga dari Permendag No.36/2023.

Alih-alih bertujuan menyelesaikan permasalahan impor, permendag tersebut justru dinilai menjadi penyebab tutupnya berbagai Perusahaan di Indonesia.

Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, M.A., menyatakan penyebab awal tutupnya perusahan di Indonesia yang kemudian berimbas pada PHK massal karyawan adalah karena terbitnya Permendag No. 8/2024.

Salah satunya adalah dihapusnya persyaratan persetujuan teknis untuk produk impor barang jadi, termasuk tekstil. Akibatnya, impor tekstil ke Indonesia meningkat drastis, dari 136.360 ton pada April 2024 menjadi 194.870 ton pada Mei 2024.

Hal ini menyebabkan produk tekstil lokal tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah. Seperti halnya yang saat ini sedang melanda PT. Sritex.

Melihat situasi yang ada saat ini, tentu menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah. Pemerintah harus segera merespons adanya bayang-bayang PHK karyawan di perusahaan seluruh Indonesia.

Dengan kondisi ini, muncul ketidakpastian dan kecemasan jika permasalahan ini tidak ditangani dengan cepat, maka pengangguran, kemiskinan, dan bahkan kriminalitas dapat meningkat. Meskipun ada pernyataan dari wakil menteri akan ada Upaya untuk mencegah PHK karyawan, tetapi kenyataannya justru banyak pekerja yang sudah di PHK tanpa tindakan nyata dari pemerintah.

Amanat UUD 1945

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak diatur secara spesifik mengenai tanggung jawab untuk menyiapkan lapangan pekerjaan secara umum kepada satu individu atau lembaga saja, tetapi lebih kepada negara dan pemerintah sebagai institusi yang menjalankan kekuasaan untuk menyejahterakan rakyat.

Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Dari sini, dapat diartikan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediakan kesempatan kerja yang layak bagi warganya, termasuk melalui kebijakan ekonomi dan sosial.

Kemudian, Pasal 33 Ayat (1), “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Pasal ini mengisyaratkan bahwa negara harus menciptakan sistem ekonomi yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pemerataan kesempatan kerja dan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, Pasal 34 Ayat (1) berbunyi, “Fakir miskin dan anakanak terlantar dipelihara oleh negara.” Tentunya, dari ketiga pasal di atas mencakup tanggung jawab negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar rakyat tidak terperangkap dalam kemiskinan dan keterlantaran.

Secara keseluruhan, penyediaan lapangan pekerjaan merupakan bagian dari upaya negara untuk mewujudkan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Negara melalui pemerintah memiliki kewajiban untuk menciptakan kondisi ekonomi yang mendukung penciptaan lapangan pekerjaan bagi warganya.

Dengan demikian, pemerintah harus segera mengambil kebijakan dengan merealisasikan amanat dari UUD 1945 dalam menangani karyawan yang mengalami PHK dengan memberikan bantuan sosial, berupa program jaminan kehilangan pekerjaan, jaminan hari tua, serta bantuan sosial lainnya, guna mencegah kemerosotan kesejahteraan.

Di sisi lain, pemerintah juga harus menciptakan peluang kerja dengan melakukan investasi besarbesaran di sektor padat karya. Maka dari itu, peluang pekerjaan akan lebih banyak tersedia.

*artikel ini sebelumnya pernah dimuat di kolom Aspirasi Harian Jogja edisi Sabtu, 8 Maret 2025 halaman 9

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler