Studium Generale Prodi Ilmu Hukum: Dr. Fahrudin Faiz Tekankan Urgensi Keadilan Ekologis bagi Generasi Mendatang

Yogyakarta, 26 September 2025 – Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan studium generale bertajuk “Hukum, Pembangunan, dan Generasi Mendatang: Filsafat Keadilan Ekologi untuk Indonesia” di Convention Hall kampus, Jumat (26/9). Acara ini menghadirkan Dr. H. Fahrudin Faiz, S.Ag., M.Ag., dosen sekaligus pengampu Ngaji Filsafat yang dikenal luas lewat forum masjid dan kanal digital, dengan moderator Dr. M. Misbahul Mujib, S.Ag., M.Hum.

Dalam sambutannya, Dekan FSH, Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag., menekankan pentingnya tema ekologis ini sebagai respons terhadap persoalan lingkungan yang kian kompleks. “Ekologi bukan hanya isu teknis, tetapi mandat kemanusiaan sebagai khalifah di bumi. Melalui filsafat, kita diajak melihat hukum dan ekologi secara lebih integratif,” ujarnya.

Keadilan Ekologis, Warisan untuk Generasi Mendatang

Di awal kuliah umum, Dr. Fahrudin Faiz menegaskan bahwa Keadilan Ekologis adalah konsep yang menghubungkan prinsip keadilan dengan kelestarian lingkungan hidup. Keadilan ini tidak hanya menyangkut manusia, tetapi juga komunitas, hewan, tumbuhan, dan seluruh ekosistem sebagai entitas yang berhak hidup dan berkembang dalam lingkungan yang sehat, seimbang, dan berkelanjutan.

Konsep ini, menurutnya, berakar pada tiga prinsip utama: keutuhan, keseimbangan, dan keterhubungan. Keadilan ekologis tidak boleh dimaknai dengan menempatkan manusia sebagai pusat, melainkan harus mengakui bahwa semua makhluk hidup saling terkait dan saling bergantung. Jika keseimbangan ini terganggu, maka kerusakan akan terjadi.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa keadilan ekologis berarti “adil sesuai porsi dan tanggung jawab.” Setiap orang memang memiliki hak yang sama atas lingkungan yang sehat—mulai dari udara bersih, air layak, hingga tanah yang subur. Namun, tanggung jawab memeliharanya harus dibebankan secara proporsional. “Masyarakat kecil tidak bisa dipersalahkan sama besar dengan korporasi yang merusak alam secara masif. Yang merusak harus bertanggung jawab, sementara yang menjaga mesti mendapat manfaat,” tegas Dr. Faiz.

Dalam paparannya, Dr. Faiz menjelaskan bahwa keadilan ekologis bukan sekadar wacana hukum, melainkan cara pandang baru yang menempatkan alam dan segala isinya sebagai bagian dari komunitas moral. Air, udara, hutan, bahkan sungai, menurutnya, memiliki hak untuk tetap lestari. Ia mencontohkan kasus sungai Whanganui di Selandia Baru yang diakui sebagai entitas hukum, atau gerakan warga Wadas yang menolak eksploitasi alam demi menjaga lingkungan mereka.

Lebih jauh, ia menyoroti empat dasar penting keadilan ekologis. Pertama, hak hidup bukan monopoli manusia, melainkan milik semua makhluk dan ekosistem. Kedua, distribusi keadilan harus proporsional: jangan sampai masyarakat kecil menanggung kerusakan yang ditimbulkan korporasi besar. Ketiga, generasi sekarang tidak boleh menguras sumber daya hingga merampas hak generasi mendatang. Dan keempat, ada dimensi global, di mana negara berkembang kerap menjadi korban krisis iklim yang ditimbulkan negara industri maju.

Menurut Dr. Faiz, akar masalah lingkungan terletak pada paradigma modern yang melihat alam hanya sebagai objek untuk dieksploitasi. Gaya hidup konsumtif dan pembangunan yang serba cepat memperparah situasi. “Paradigma lama harus diganti dengan cara pandang baru, yaitu melihat alam sebagai sesuatu yang sakral, sebagai rumah bersama yang harus dijaga,” ujarnya.

Dalam konteks hukum, ia menekankan pentingnya prinsip polluter pays—yang merusak harus membayar—serta prinsip kehati-hatian agar kerusakan dicegah sejak awal. Namun, ia juga mengingatkan bahwa penegakan hukum sering kali lemah karena benturan kepentingan dan dominasi logika ekonomi jangka pendek.

Tidak berhenti pada aspek hukum, Dr. Faiz menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan harus menyeimbangkan kebutuhan ekonomi, sosial, dan ekologi. Energi terbarukan adalah salah satu jalan keluar agar pembangunan tidak terus-menerus mengorbankan hutan dan wilayah adat.

Di akhir, ia menawarkan kerangka sederhana namun kuat: Head, Heart, Hand, Spirit. Kepala untuk membangun kesadaran, hati untuk menumbuhkan empati, tangan untuk melakukan aksi nyata, dan spirit untuk meneguhkan kesadaran spiritual bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan.

Pesan Dr. Faiz jelas: keadilan ekologis adalah tanggung jawab bersama. Negara, korporasi, dan masyarakat harus bahu-membahu agar bumi tetap ramah huni, tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang.