Diskusi Hak-Hak Perdata Bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia oleh Ikatan Alumi Ilmu Hukum (IKA-IH)

Yogyakarta, ILMUHUKUM.UIN-SUKA.AC.ID –Minggu, 2 Desember 2018, Ikatan Alumi Ilmu Hukum (IKA-IH) menyelenggarakan kegiatan diskusi yang mengusung tema“Hak-Hak Perdata Bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, yang dilaksanakan di Gedung Student Center Lantai dua UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kegiatan ini dihadiri lebih dari sepuluh orang peserta, dan kedepannya akan dilaksanakan secara rutin tiap hari minggu sore.

Kegiatan ini merupakan kegiatan kerjasama antara IKASUKA Ilmu Hukum dan Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum (HMPS-IH) yang memiliki tujuan yang sama yakni mewadahi dan memfasilitasi mahasiswa ilmu hukum guna mempermudah menemukan dan/atau bahkan menguasai bidang konsentrasi hukum.

Diskusi ini, mendatangkan satu pemateri yakni M. Jamil, S.H.,selaku Ketua IKASUKA Ilmu Hukum. Guna memperlancar berjalannya diskusi, kegiatan ini dimoderatori oleh saudari Shinta Martika yang merupakan mahasiswa Prodi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Ketua IKASUKA Ilmu Hukum M. Jamil, S.H.dalam kesempatannyasebagai pemantik menyampaikan bahwa Indonesia yang mengadopsi dirinya sebagai negara yang berlandaskan hokum, maka sudah sejatinya negara harus memperlakukan hal yang sama baik itu masyarakat normal maupun yang secara fisik tidak normal(disabilitas). “Negara Indonesia adalah negara hukum, begitu bunyi Pasal 1 Ayat (3) amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Karena Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut Negara hukum, maka dalam suatu negara hukum semua orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum (equality before the law). Pemberlakuan sama dihadapan hukum tersebut, baik dalam kesehariannya sebagai masyarakat Indonesia maupun dalam penerimaan haknya dalam hal keperdataan, baik orang tersebut fisiknya sehat secara jasmani dan rohati maupun keterbelakangan mental (penyandang disabilitas)” ucap Jamil.

Lebih lanjut, Jamil menjabarkan, negara telah berupaya untuk mengejawantahkan pesan moral dari konstitusi tersebut melalui hadirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. “UU tersebut ada dan hadir sebagai bentuk dari pemerintah untuk dapat melindungi hak-hak daripada penyandang disibilitas itu sendiri. Selain itu, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hak bagi mereka salah diantaranya ialah, pekerjaan, perlindungan hukum, pelayanan publik, dan lainnya,” bebernya.

“Jika ditinjau dari segi hukum perdata maka terdapat dua hak perdata bagi penyandang disabilitas di Indonesia yaitu hak mutlak dan hak relatif. Hak mutlak dapat dibagi dalam tiga golongan, yaitu pertama, hak asasi manusia; kedua, hak publik mutlak; dan, hak keperdataan,”terangnya.

Terkait hal di atas, saat sesi tanya jawab Moh. Khalilullah A. Razaq, S.H., sebagai refleksi terhadap isu disabilitas mempertanyakan ulang, apakah kelompok penyandang disibilitas dapat menyalonkan diri sebagai anggota parlemen? Selain itu, ada juga pertanyaan yang muncul dari peserta lainnya, yaitu Musleh dan Qodar. Hal yang dipertanyakan dalam diskusi tersebut adalah hak apa yang didapatkan dari seorang nenek disabilitas miskin yang dituntut oleh keluarganya sendiri dan bagaimana jika dikemudian hari seorang disabilitas yang melakukan pelanggaran hukum lalu ia jadikan ‘disabilitasnya’ sebagai alasan untuk menjadi tameng hukum?

Seperti apa yang dipaparkan sebelumnya, M Jamil menegaskan bahwa,“Konstitusi kita telah menjamin siapa pun itu dan selama ia sah sebagai negara Indonesia maka ia memiliki hak politik yang melekat pada dirinya yaitu ‘dapat memilih dan dipilih’. Artinya, bagi kelompok disabilitas juga bisa menjadi sebagai anggota parlemen. Buktinya, saat ini juga ada alumni Ilmu Hukum yang kebetulan penyandang disabilitas saat ini menjadi calon legislatif di Kota Yogyakarta,”sebutnya.

Terkait pertanyaan yang kedua, Jamil menjelaskan bahwa sekali lagi Indonesia berasaskan pada prinsip Equality Before the Law. Artinya apa? Semua warga negara dan termasuk kelompok disabilitas harus diperlakukan sama di muka hukum. Lantas apa haknya? Menurutnya, hak yang diperoleh adalah hak perlindungan hukum dari seorang lawyer. Dan manakala dikemudian hari seorang disabilitas menggunakan perbedaanya sebagai ‘pencari’ alasan pembenar maka hakim dalam hal ini sebagai penegak hukum dapat menerima, memeriksa dan memutus perkara tersebut dengan seadil-adilnya. Karena hakim berasaskan adagiumius curia novit/curia novit jus berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara,”tegasnya.

Reporter:Nabila Herlin Nareswari